Hi,
everyone!
Sebelumnya saya mau minta maaf dulu, karena akhir-akhir ini saya lebih banyak menulis tentang saya dan pasangan saya instead of something inspiring--or something else--di blog saya ini. Tapi, saya tetap berharap apa yang saya tulis di sini bisa bermanfaat, meskipun sedikit, bagi yang membacanya. Aamiin.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat ingin membuat 'kultwit' dengan tajuk yang sama, yaitu 'kalau pasangan saya merokok', tapi masih belum sempat dipublikasikan. Sebenarnya 'kultwit' tersebut sudah tersimpan rapi di draft Twitter saya, tapi, sekali lagi, masih belum sempat dipublikasikan. Kenapa? Karena setiap saya mau mem-publish, saya selalu mendapat sebuah 'firasat'--entah apa itu--sehingga saya selalu mengurungkan niat saya tersebut.
Sampai pada suatu hari, saya mendapat kabar baik yang cukup mengagetkan saya.
Pasangan: Sayang, kemaren Ibu bilang, aku harus berhenti ngerokok dulu, baru boleh ngomongin tentang kita lagi ke Ibu.
Saya: o ya? Alhamdulillah, bagus banget itu, Sayang! *muka seneng baget*
Tapi, saat itu saya masih belum tau, apakah pasangan saya akan berhenti merokok saat itu juga, atau bahkan sudah berhenti merokok sejak kemarin, atau bagaimana. Karena, setau saya, berhenti merokok it tidak segampang 1+1. Hal ini dikarenakan, setau saya juga, di dalam rokok terdapat zat-zat tertentu yang bersifat adiktif, seperti yan terdapat pada obat-obatan terlarang. Zat-zat tersebut lah yang membuat orang yang sudah 'terjerumus' ke dalamnya akan sulit sekali untuk 'keluar'.
Dan, tidak lama kemudian, pertanyaan itu terjawab, saat pasangan saya dan teman-temannya--secara tidak disengaja--membicarakan topik yang sama, yaitu tentang rokok.
Pasangan: Mas, Sampeyan ngerokok ta?
Teman 1: wes enggak Van. Awakmu ngerokok a?
Pasangan: wes enggak juga Mas.
Teman 2: lo, iya ta Van? Opo o?
Pasangan: kemaren Ibuku bilang, aku harus berhenti ngerokok, baru boleh ngomongin tentang aku sama Mila.
Saya: *tetap dengan muka seneng banget*
Saya rasa, ini adalah 'sesuatu' dibalik 'firasat' saya sebelumnya. Alhamdulillah, saya senang sekali mengetahui pasangan saya berhenti merokok. Dan itu bukan 'karena saya'.
Saya memang tidak pernah memaksa pasangan saya untuk merokok atau tidak merokok. Saya percaya pada pasangan saya, dan saya sangat yakin, bahwa pasangan saya cukup dewasa dan bijaksana untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Sejak kecil, saya memang diajarkan untuk tidak menyukai orang yang merokok. Di keluarga saya pun tidak ada yang merokok, dan tidak ada yang diperbolehkan untuk merokok. Tapi saya hanya tau saya tidak boleh merokok dan harus tidak menyukai orang yang merokok, tanpa dibekali pengertian tentang apa bahaya merokok, mengapa harus membencinya, dan lain sebagainya.
Semakin besar, akhirnya saya tau sendiri, apa saja bahaya merokok dan mengapa kita harus menghindarinya, dari TV, internet, majalah, koran, dan media lainnya. Saya juga pernah membaca kisah seorang gadis yang harus meninggal dunia di usia yang sangat belia akibat menjadi perokok pasif. Saya pun semakin membenci rokok dan tidak menyukai orang yang merokok.
Apabila saya bertemu orang yang merokok, saya selalu menutup hidung dan mulut saya secara terang-terangan di depannya. Pertama, saya takut asap rokok tersebut merusak kesehatan saya, kedua, saya ingin saja membuat mereka tau, saya tidak suka mereka merokok di dekat saya. Meskipun sebenarnya saya tidak memiliki penyakit serius tertentu seperti asma yang membuat saya sangat peka terhadap asap rokok.
Suatu hari, pasangan saya yang lucu sekali dan selalu memberi saya kejutan bertanya pada saya, 'Sayang, aku boleh ngerokok nggak?', dengan tampang lugunya. Apa yang kemudian saya lakukan? Melarangnya? Memarahinya? Tidak. Saya mengatakan 'Sayang maunya aku bolehin apa aku larang?', dan pasangan saya menjawab 'ya dibolehin dong..', sekali lagi dengan tampang lugunya. Saya pun meng-iya-kan.
Saat itu saya memang cukup bingung harus melakukan apa. Saya tidak pernah mau memaksakan kehendak saya pada pasangan saya, tapi kalau saya membiarkannya, artinya saya jahat, karena saya sudah tau rokok berbahaya bagi diri pasangan saya, tapi saya membiarkannya. Akhirnya, saya membiarkan--bukan mengijinkan--pasangan saya merokok. Tapi, saya juga selalu mengingatkannya tentang bahaya merokok, mengiriminya artikel-artikel tentang rokok, dan sebagainya.
Pernah, saat kami sedang jalan-jalan, saya dan pasangan saya terlibat suat percakapan menggelikan.
Saya: itu lo Sayang, baca, rokok dapat menyebabkan impotensi. Ngga takut ta Sayang? *sambil nunjuk banner di pinggir jalan*
Pasangan: lo, aku kan rokoknya beli, bukan dapat. *tetap dengan tampang lugu*
Haha. Pasangan saya pinter banget kalau ngeles. Tapi kemudian saya mengatakan pada pasangan saya, 'kalau Sayang sudah memutuskan untuk merokok sekarang, kalau suatu saat terjadi sesuatu yang nggak mengenakkan, jangan pernah disesali ya'. Dan pasangan saya meng-iya-kan-nya.
Seperti yang saya katakan di atas, saya tidak mau pasangan saya berhenti merokok-atau melakukan apapun-dengan alasan 'karena saya'. Kalau suatu saat pasangan saya memutuskan untuk berhenti merokok (Alhamdulillah memang sudah berhenti), saya berharap itu karena kemauan pasangan saya sendiri, bukan karena saya.